Thirt to Face-Pertemuan Ke-3 (by Deddi iswanto)

MENGUMPULKAN BERITA
SUMBER PRIMER VERSUS SEKUNDER
Apa yang sering membedakan berita baik dari berita yang lebih baik adalah kualitas sumber yang dipakai oleh reporter, baik dalam pengumpulan fakta dan apa-apa yang dipublikasikan. Tujuannya adalah mencari sumber berita yang terbaik, tetapi terkadang reporter, yang tidak selalu dapat berada di lokasi kejadian atau karena waktu terbatas, terpaksa menggunakan sumber terbatas. Tetapi kekurangan ini tidak selalu berarti inferior atau tidak memadai.
Ada dua jenis sumber informasi yang dicari oleh jurnalis, yakni sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah saksi mata suatu peristiwa atau pencipta suatu karya atau kerja orisinal properti fisik atau intelektual. Sumber informasi primer dapat berbentuk cetak atau rekaman. Sumber sekunder adalah orang yang memiliki beberapa pengetahuan namun tidak terlibat secara pribadi, atau sebuah karya yang dipublikasikan yang mengutip kata-kata dari karya lain, kata-kata yang telah dipublikasikan dalam sumber primer. Karya publikasi tidak terbatas pada bentuk cetak, tetapi termasuk rekaman, film dan file elektronik.
Jurnalis sering mendapat informasi dari sumber primer dan sekunder. Akses dan waktu mungkin membatasi reporter, tetapi keterbatasan akses atau waktu tidak selalu mengurangi informasi yang bisa didapat. Bahkan walau seorang saksi mata peristiwa tsunami di Aceh yang beranjak 2.500 km dari reporter di Jakarta, sang reporter masih bisa melalukan wawancara telpon dengan si saksi mata, yang merupakan sumber informasi primer. Meski seorang wartawan hanya punya waktu kurang dari 10 jam untuk menulis berita panjang tentang gempa bumi di Yogyakarta dan si reporter itu tinggal di tempat yang berjarak 500 km dari lokasi gempa, dia masih bisa mendapat banyak fakta tentang gempa Yogyakarta itu dari berbagai database dan situs internet. Pengambilan informasi dari sumber ini hanya butuh beberapa menit saja.
Kualitas sumber primer dan sekunder juga berpengaruh. Kredibilitas dan tingkat keterlibatan saksi mata perlu diperhatikan. Apakah mereka adalah orang yang paling ahli? Apakah mereka benar-benar aktif dalam suatu kejadian yang akan diberitakan ataukah mereka hanya melihat saja kejadian itu? Apakah usia atau beberapa ciri fisik bisa memengaruhi kesaksian mereka? Ada banyak cara untuk mengkategorisasikan dan mengurutkan kredibilitasi potensial dari sumber primer, dan wartawan harus memilih sumber terbaik berdasarkan penilaiannya. Ide, opini, dan properti intelektual lainnya dapat menjadi sumber yang bagus jika dikutip dari karya orisinal.
Sumber primer lain untuk media berita antara lain pemimpin dan juru bicara untuk organisasi, asosiasi, tokoh politik dan sosial dan agen pemerintah. Sering kali orang-orang ini dihubungi secara berkala untuk mendapatkan fakta berita atau komentar. Sumber primer ini terkadang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai sistem beat.
Beberapa sumber informasi sekunder, seperti majalah mingguan Tempo dan Gatra, sering dikutip oleh wartawan muda sebagai sumber informasi berita mereka. Walaupun majalah ini ditulis dengan baik, namun bukan satu-satunya sumber sekunder terbaik untuk mahasiswa. Pada umumnya, jurnalis mahasiswa harus mencari fakta melalui ucapan opini ahli yang dipublikasikan di majalah berita atau majalah populer lainnya. Akan lebih baik untuk mencari sumber akademik. Misalnya, seorang wartawan mahasiswa yang sedang menulis tentang remaja dan infeksi HIV dapat memperoleh informasi dari jurnal akademik, seperti jurnal-jurnal Medis Ilmiah Universitas, atau dari wawancara dengan ahli atau dari buletin dari pusat penanggulangan penyakit AIDS. Bagi wartawan ini, sumber primer tersebut lebih baik ketimbang sumber dari Tempo dan Gatra.
SISTEM BEAT DAN CARA KERJANYA
Tidak semua berita masuk ke kantor berita. Reporter harus mencarinya, dan pencarian ini dilakukan melalui prosedur rutin dan sistematis yang dikenal sebagai beat system.
Sebuah sistem beat adalah rancangan untuk meliput secara rutin semua sumber berita potensial di area spesifik. Setiap kontak atau sumber informasi dinamakanbeat. Untuk media SMA atau universitas, beat mereka antara lain:
  • Setiap jurusan akademik atau pimpinannya
  • Setiap aktivitas ekstrakurikuler atau ko-kurikuler, sponsor fakultasnya dan pimpinan mahasiswa/ketua OSIS
  • Depertemen olahraga dan direkturnya
  • Lembaga kemahasiswaan dan ketuanya
  • Kepala sekolah atau rektor
  • Pemilik sekolah dan pejabat Diknas
  • Ketua dewan sekolah atau ketua yayasan universitas
  • Lembaga bimbingan atau konseling
  • Pimpinan lembaga bimbingan konseling
  • Pejabat pemerintah terkait
  • Sutradara drama
  • Pimpinan kelompok musik dan vokal
  • Pengelolah kafetaria atau kantin
  • Pengelola transportasi sekolah
  • Pimpinan bagian pemeliharaan sekolah
  • Direktur program tertentu, seperti program untuk ibu murid
  • Kantor konferensi atau pimpinan bidang olahraga
  • Kantor depertemen pendidikan (informasi publik)
  • Pejabat depertemen pemuda dan olahraga; pejabat yang mengurusi wisata pemuda dan tenaga kerja pemuda
  • Organisasi kepemudaan.
Beat juga dapat berupa topik dan tidak terkait dengan lokasi atau juru bicara. Jenisbeat ini membuat reporter harus menjalin banyak kontak, mungkin sampai ke tempat yang jauh. Beberapa jenis beat ini antar lain:
· Lingkungan
· Musik pop
· Seni rupa
· Pengadilan anak dan remaja
· Politik kepresidenan
· Travel
· Pengobatan, kesehatan, dan nutrisi
· Uang dan pembiayaan
· Agama
· Internet
· Hukum
· Fashion
Semua ini memiliki sudut pandang mahasiswa dan sering menarik pembaca muda. Reporter SMA yang meliput beat berita ini biasanya perlu mengaitkan dengan sekolah atau komunitas lokal untuk menambah relevensi dan dampak potensial berita itu. Misalnya, berita travel dapat difokuskan pada tujuan utama liburan untuk musim liburan sekolah. Berita tentang agama dapat berupa kegiatan pesantren kilat remaja di bulan Ramadhan atau tentang murid/ mahasiswa yang menjadi relawan di kegiatan keagamaan.
Beat yang mungkin unik bagi suatu komunitas dapat menjadi sumber informasi reguler dan menjadi berita potensial untuk media sekolah/universitas. Misalnya, panggilan atau kunjungan ke direktur olahraga membuat reporter bisa mendapat informasi tentang acara olahraga yang akan datang atau perubahan dalam jadwal pertandingan; dengan mengunjungi kantor urusan kepemudaan di pemerintah daerah kita bisa memperoleh informasi tentang program magang atau beasiswa untuk murid; dengan menemui direktur dewan sekolah kita bisa mendapatkan salinan agenda untuk rapat selanjutnya; dan mengunjungi kantor depertemen pendidikan bisa mendapatkan informasi usulan baru, program murid dan beasiswa.
Agar sistem beat bekerja, satu reporter ditugaskan untuk satu beat, jika sifatnya sedikit, seorang reporter dapat meliput lebih dari satu beat. Beberapa minggu sebelum deadline dan sebelum berita diberi sentuhan akhir untuk diterbitkan, reporter harus menelepon atau mengunjungi juru bicara beat dan menayakan apa ada informasi baru. Walaupun reporter tidak melalukan wawancara, dia harus menggali informasi sebanyak mungkin. Reporter harus berusaha mengembangkan hubungan hangat dengan juru bicara sehingga bisa mendapat informasi dengan mudah dan lengkap.
Reporter yang baik akan mendapat informasi dari beat setiap kali ia melakukan kontak. Karena juru bicara atau narasumber kenal baik dengan reporter, maka ada kemungkinan dia mengumpulkan informasi untuk si reporter.
Dengan penggunaan email yang hampir universal, reporter beat dapat mengecek secara lebih sering dan dalam beberapa kasus bahkan lebih cepat ketimbang dengan telepon. Akan tetapi kontak personal juga penting. Mengandalkan email semata dapat menghilangkan hubungan khusus yang biasanya terjalin di antara dua orang yang bertemu secara tatap muka.perpaduan penggunaan telpon, tatap muka dan email bisa jadi bermanfaat. Hubungan baik antara reporter dengan narasumber reguler dapat amat membantu ketika berita yang hendak ditulis membutuhkan lebih banyak informasi.
Ketika staf mengumpulkan rencana untuk menerbitkan edisi koran esok pagi atau program siaran berita esok hari, setiap reporter beat dapat membagi berita utama yang didapatkannya dari juru bicara beat. Kemudian editor dapat menentukan apakah informasi-informasi itu cukup punya nilai berita atau tidak.
Reporter yang mendapatkan beat tertentu, seperti pemerintah daerah, mesti menjaga hubungan baik dengan narasumber dan mempelajari sebanyak mungkin tentang subjek dan kontrak yang terkait dengan beat. Ini bisa menjadi karir seumur hidup mulai dari jurnalisme sekolah hingga media profesional.
WAWANCARA
Cara paling penting dan paling lazim untuk mendapat informasi menggunakan wawancara dengan seorang yang disebut “narasumber.” Fakta dapat ditemukan di dokumen terdahulu, dalam bentuk cetak atau online, namun hampir setiap berita membutuhkan satu sumber primer. Pemberitaan berbasis fakta umumnya lebih credible (terpercaya), lebih profesional dan lebih penting buat pembaca jika ada bukti berita dari saksi mata langsung atau dari pihak pertama. Jika reporter tidak menyaksikan langsung suatu kejadian, maka apakah dia berbicara dengan saksi mata? Ini penting bagi pembaca, dan jurnalis harus memenuhi keinginan pembaca ini.
Wawancara dapat dilakukansecara informal, seperti bertanya kepada seseorang di keramaian atau melalui telepon atau email. Wawancara bisa juga dalam bentuk formal (resmi), dengan kesepakatan mengenai waktu dan tempat wawancara. Banyak berita mengkombinasikan beberapa cara wawancara.
Mahasiswa jurnalis harus menyadari bahwa menulis berita adalah berbeda dengan menulis paper atau esai, dimana selalu dibutuhkan sumber sekunder, meski penting, hanya menjadi latar belakang atau kelengkapan informasi untuk suatu berita.
Sebelum wawancara, reporter sebaiknya tidak bertanya spontan, namun perlu riset dan bahkan mempersiapkan pertanyaan terlebih dahulu. Eksplorasi setiap berita di mulai saat rapat staff reporter. Editor, reporter dan yang lainnya mengkaji sumber informasi potensial, termasuk wawancara personal, dan sudut pandang pengembangan cerita. Bahkan sebuah berita yang mungkin dimasukkan sebagai “news brief” dibatasi satu atau dua paragraf membutuhkan wawancara panjang dengan setidaknya satu nara sumber. Berita yang lebih panjang, dengan banyak fakta dan sudut pandang pengembangan, biasanya membutuhkan banyak wawancara beberapa wawancara personal.
Setelah berita didiskusikan dan terutama jika reporter tahu sedikit atau tidak tahu sama sekali tentang subjek berita, maka dia perlu melakukan riset fakta dasar, jika ada. Riset ini akan membantu reporter menyusun kerangka pertanyaan untuk wawancara. Riset itu juga akan membantu selama penulisan setelah wawancara. Selain meriset subjek, reporter bisa melakukan riset tentang orang yang akan diwawancarai, dan ini biasanya amat membantu, terutama apabila orang itu adalah tokoh penting dan banyak koneksi.
Berdasarkan kompleksitas subjek dan perkiraan ke dalam wawancara, reporter menyusun daftar pertanyaan setelah riset awal terhadap subjek dan orang yang diwawancarai, ini bukan hanya dilakukan reporter pemula: reporter kawakan juga sering melakukan hal seperti ini demi memastikan kesuksesan wawancara.
Pertanyaan yang lebih disiapkan akan membantu reporter menjalankan wawancara secara lengkap. Rasa cemas dan gugup bisa jadi membuat reporter melupakan beberapa atau bahkan semua pertanyaan. Jika pertanyaan itu ditulis dahulu, maka kecil kemungkinan hal itu terjadi dan reporter boleh jadi nantinya hanya perlu menulis jawaban narasumber.
Daftar mesti diawali dengan satu atau beberapa pertanyaan ringan untuk mencairkan susana dan menjalin rasa percaya antara reporter dan narasumber. Bahkan sebelum diajukan pertanyaan, tidak ada salahnya berbasa-basi atau “ngobrol ringan” sebentar. Reporter bisa mengawali dengan bicara tentang cuaca atau hal-hal ringan yang menarik pada saat itu. Perbincangan untuk mencairkan suasana ini sering membuat perasaan nyaman. Akan tetapi, beberapa orang penting yang sibuk dan jadwalnya ketat mungkin ingin langsung masuk ke inti wawancara. Jadi reporter harus fleksibel. Reporter juga perlu mengendalikan wawancara: jika narasumber mulai melantur dan informasinya tak berguna, reporter perlu membawa kembali narasumber ke topik utama.
Sering kali narasumber berharap reporter tahu tentang dasar-dasar subjek pembicaraan dan akan tidak suka jika waktunya “disia-siakan” untuk menjawab pertanyaan latar belakang.
Pertanyaan wawancara sering berkaitan dengan pertanyaan mendasar, yakni “5 W dan 1 H” what (apa), who (siapa), where (di mana), when (kapan), why (mengapa) dan how (bagaimana). Meskipun enam pertanyaan dasar ini akan menghasilkan fakta, pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” perlu lebih ditekankan selama wawancara. Jawaban untuk dua macam pertanyaan ini kemungkinan bisa dikutip dan lebih menarik. Jadi saat menyusun pertanyaan, reporter harus mempertimbangkan betul prinsip “5 W dan 1 H” ini.
Pertanyaan yang mungkin memunculkan jawaban “ya” atau “tidak” atau tidak tahu” harus diubah dengan tujuan mendapatkan jawaban yang lebih lengkap dan detail:
Pertanyaan yang kurang baik
Apakah acara amal berhasil meningkatkan sumbangan uang untuk korban bencana?
Pertanyaan yang lebih baik
Program apa yang akan mendapat banyak manfaat financial dari acara amal itu?
Pertanyaan pertama di atas kemungkinan besar akan mendapat jawaban ya atau tidak, reporter harus tahu soal ini, sebelum melakukan wawancara. Pertanyaan kedua lebih mungkin menghasilkan detail yang lebih kongkret. Pertanyaan pertama mungkin bisa dipakai jika langsung diikuti dengan pertanyaan “program apa yang akan mendapat banyak manfaat ?”
Untuk menghindari kekakuan dan terlalu formal, reporter tidak boleh membacakan pertanyaan kata demi kata. Reporter bisa membaca sekilas pada pertanyaan, mencatat kata kunci dan kemudian menanyakannya dengan bahasa sendiri sambil menatap narasumber, bukan menatap kertas. Semakin banyak reporter melakukan wawancara, hal ini akan makin terasa mudah.
Selama jalannya wawancara, reporter, bahkan saat mencatat, harus sesekali melakukan kontak mata dengan narasumber dan mendengarkan jawabannya dengan seksama. Reporter harus punya kemapuan mendengar yang baik. Reporter tidak boleh berusaha memberi kesan di mata narasumber bahwa dirinya sudah tahu banyak; tujuan wawancara adalah mencari tahu apa yang diketahui narasumber.
Meskipun seorang reporter telah menyiapkan pertanyaan, selalu dimungkinkan untuk mengajukan pertanyaan baru setelah mendapat jawaban tak terduga, tak jelas atau tidak lengkap dari narasumber. Reporter kawakan mengatakan bahwa beberapa berita terbaik terbaik mereka berasal dari informasi baru yang tak terduga yang muncul selama proses wawancara. Reporter perlu siap-siap menyimpang dari daftar pertanyaan yang telah disusunnya dan menjelajah area baru; reporter bisa kembali lagi ke daftar pertanyaan nanti.
Untuk akurasi, seorang reporter perlu mencatat selama wawancara. Jika narasumber mau, wawancara dapat direkam dengan tape atau secara digital. Kedua cara itu sama enaknya. Rekaman akan amat membantu untuk ketepatan kutipan langsung. Banyak reporter mengembangkan cara pencatatan khusus sendiri (short-hand). Mereka biasanya membuang kata sandang (dalam bahasa inggris) “a,” “an,” dan “the,” menyingkat kata yang panjang dengan tujuan membuat catatan dengan cepat dan efisien. Setelah wawancara, reporter harus segera meninjau kembali catatannya untuk melengkapi detail yang mungkin terlewatkan. Berita harus ditulis sesegera mungkin setelah wawancara selesai.
Kini waktunya untuk memverifikasi fakta dan opini yang diberikan selama wawancara. Jika ada sesuatu yang kurang jelas atau kurang lengkap, jika data staistik terlalu kompleks, atau jika opini narasumber aneh dan mungkin kontroversial, maka reporter harus mengulang membacakan fakta atau data statistik atau pernyataan dihadapan narasumber untuk verifikasi ketepatannya. Setelah wawancara bisa juga dilakukan wawancara lanjutan lewat telepon untuk memverifikasi pernyataan. Bukan hal profesional jika kita menunjukkan berita lengkap kepada narasumber untuk disetujui sebelum publikasi. Jika narasumber menarik pernyataannya, menyangkalnya, maka kontradiksi itu bisa dipakai sebagai bagian dari berita. Adalah penting bagi reporter untuk membuat catatan akurat dan menyimpan catatan dan rekaman setelah publikasi.
Berikut tips agar wawancara berjalan sukses:
  1. Pelajari subjek dan nara sumber
  2. Buat perjanjian untuk bertemu
  3. Siapkan daftar pertanyaan
  4. Buat shortcut untuk pencatatan, termasuk singkatan
  5. Bawa alat perekam kecil, pastikan baterainya baru
  6. Bawalah laptop dan dua pena (salah satunya mungkin macet)
  7. Kenakan baju yang bersih dan nyaman. Mandi dan pakai deodoran tetapi jangan menggunakan cologne atau parfum (mungkin malah mengganggu)
  8. Datang lah beberapa menit lebih awal. Jika anda ternyata pasti terlambat, telepon dan beri perkiraan kedatangan anda
  9. Perkenalkan diri anda sebagai wartawan dan beri tahukan nama medium berita anda
  10. Tersenyumlah dan katakan sesuatu yang ramah untuk mencairkan suasana. Jangan duduk sebelum dipersilahkan duduk.
  11. Jika anda membawa alat perekam, minta ijin sebelum merekam
  12. Nyalakan alat perekam, laptop, lakukan kontak mata lalu mulai wawancara.
  13. Ajukan satu atau dua pertanyaan ringan terlebih dahulu
  14. Ajukan pertanyaan yang lebih berat (serius). Lakukan kontak mata
  15. Ajukan pertanyaan lanjutan untuk mendapatkan contoh atau penjelasan: “bisakah anda beri contohnya?” dapatkah anda jelaskan itu?”ini bukan termasuk dalam daftar pertanyaan yang anda siapkan, namun perlu ditanyakan
  16. Ikuti jawaban yang tak terduga atau informasi baru dengan pertanyaan spontan. Tambahkan pertanyaan baru ini (menggunakan ringkasan) ke daftar pertanyaan di laptop anda
  17. Mintalah narasumber mengulang setiap fakta dan statistik yang tidak anda pahami atau informasi yang anda lewatkan karena narasumber bicara terlalu cepat. Cek ejaan nama yang diberikan oleh narasumber dalam jawabannya.
  18. Mintalah ijin kepada narasumber untuk mengulangi apa-apa yang dia katakan jika anda menganggap perkataan itu aneh atau kontroversial atau jika anda ingin mengutipnya. Anda tidak boleh melakukan kesalahan.
  19. Ajukan pertanyaan terakhir
  20. Tanyakan kepada narasumber apakah dia akan menambahkan sesuatu.
  21. Periksa dengan cepat daftar pertanyaan Anda untuk memverifikasi bahwa anda sudah menanyakannya semua. Ini terutama penting jika narasumber sering melantur.
  22. Jika Anda menyepakati batas waktu wawancara, hormati kesepakatan itu, atau mintalah tambahan waktu sedikit jika perlu.
  23. Catatlah setting atau insiden apa saja di lokasi wawancara yang mungkin bisa mewarnai isi laporan atau mengungkapkan sisi lain dari narasumber. Observasi ini dapat menimbulkan satu atau dua pertanyaan baru.
  24. Berterimakasilah kepada narasumber. Lakukan kontak mata dan tersenyum.
  25. Berikan nomor telepon Anda atau alamat email Anda dan mintalah narasumber menelpon Anda jika dia ingin menambahkan sesuatu nanti.
  26. Matikan alat perekam dan laptop, dan jangan lupa bawa pulang ala-alat itu.
Beberapa narasumber kadang enggan bicara atau malu, pejabat publik punya kewajiban untuk berbicara kepada media; orang privat tidak punya kewajiban seperti itu. Dengan tampil profesional dan bersikap sopan dan tenang, reporter bisa mencairkan suasana. Obrolan ringan singkat sering bisa membantu. Jika hendak mengadakan perjanjian wawancara, tanyakan kepada narasumber kapan ada waktu yang nyaman untuknya; cara ini juga akan menurunkan ketegangan. Datang tepat waktu juga bisa membantu. Pujian dan basa-basi dapat menghilangkan ketidaknyamanan. Pertanyaan yang keras pertanyaan yang mungkin bernada negatif menurut narasumber harus diajukan dengan amat hati-hati dan sesopan mungkin. Jika narasumber tidak menjawab, susunan kalimat pertanyaan itu bisa diganti dan diajukan lagi. Mungkin pertanyaan itu jangan ditanyakan lagi jika sudah dua kali diajukan tetap tidak dijawab. Dalam beritanya nanti, reporter dapat menulis bahwa narasumber “tak mau” berkomentar terhadap subjek tertentu; menggunakan kata “menolak” mungkin terdengar kasar dan punya konotasi berbeda dengan penggunaan kata “tak mau.”
Reporter harus sangat berhati-hati saat mewawancarai narasumber yang terlibat dalam suatu tragedi pribadi. Media, terutama media siaran, punya kecenderungan untuk instrusif selama ada aksiden kekerasan dan bencana skala besar. Wartawan harus menghargai keinginan dari korban yang tertahan dan kehormatan korban yang tewas saat meliput. Dengan besikap sopan, menunjukkan keprihatinan atas situasi yang menyedihkan dan mengajukan pertanyaan dengan sopan dan lembut, seorang wartawan mungkin akan lebih mudah mendapat akses ke informasi dari korban yang bertahan dan pihak lain yang dekat dengan kejadian itu.
Telepon dan wawancara tatap muka adalah mirip. Dalam wawancara lewat telepon, reporter tidak bisa mengetahui detail penampilan seseorang, sikapnya dan situasinya. Akan tetapi, wawancara telepon menghemat waktu dan merupakan cara yang lazim dipakai wartawan untuk mendapatkan informasi dan komentar. Wawancara telepon dapat direkam, namun dalam banyak kasus merekam percakapan telepon tanpa permisi adalah ilegal. Akan lebih baik jika dibuat dahulu perjanjian sebelum wawancara telepon. Seperti dalam situasi wawancara, reporter menyebut nama dirinya dan medium beritanya. Wawancara telepon biasanya tidak lama; wawancara untuk berita panjang, terutama profil personal, akan lebih baik dilakukan secara tatap muka.
Wawancara juga dapat dilakukan lewat email di Internet. Dalam beberapa hal wawancara ini seperti wawancara telepon; biasanya Anda tidak melihat narasumber dan tidak bisa mencatat datail fisiknya. Akan tetapi, wawancara email punya keuntungan: respon sudah ditulis, jadi tidak perlu mencatat lagi, dan respon dapat diberikan oleh narasumber pada waktu yang ditentukan sendiri oleh narasumber. Respon email juga bisa ditulis dengan lebih cermat dan lebih koheran ketimbang respon dalam wawancara tatap muka atau telepon. Hal ini bisa menguntukan tetapi juga bisa merugikan. Jawabannya mungkin mengandung lebih banyak substansi, tetapi juga lebih formal. Pembaca mungkin tidak akan melihat wawancara itu sebagai wawancara “manusia.”
Wawancara email dapat diikuti dengan menelepon narasumber untuk memverifikasi fakta penting dan komentar yang tidak lazim dan kontroversial. Reporter bisa memverifikasi apakah orang yang menjawab email itu benar-benar si responden yang diharapkan; beberapa nama email dan alamat adalah palsu.
Reporter dapat mengasumsikan bahwa wawancara adalah “on the record”(untuk dipublikasikan) selama mereka menyebut dirinya sebagai reporter. Terkadang sumber akan mengatakan bahwa ada hal-hal yang “off the record” (tidak untuk dipublikasikan). Reporter harus memutuskan apakah akan menerima perubahan ini atau tidak. Tidak ada aturan yang mesti diikuti. Tetapi, jika reporter setuju untuk mendengar sesuatu yang off the record, maka reporter harus memahami dengan jelas kapan wawancara akan kembali ke on the record. Ketika narasumber berbicara on the record, segala sesuatu yang dikatakannya bisa dikutip langsung dan disebutkan namanya. Akan tetapi, meski berasumsi bahwa wawancara adalah on the record ini bukan berarti reporter diwajibkan menggunakan semua fakta dan komentar yang diberikan narasumber selama wawancara.
Thirt to Face-Pertemuan Ke-3 (by Deddi iswanto) Thirt to Face-Pertemuan Ke-3 (by Deddi iswanto) Reviewed by Presiden Kacho on 11.52 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.