Refleksi Sejarah Budaya Menuju Pemerintahan Aceh Yang JROEH

 
Image by Presiden kacho

Sejauh pengamatan kita selama berlangsungnya Pilkadasung di aceh beberapa minggu yang lalu sampai hari ini saat pemenang sudah dapat dipastikan walaupun proses penghitungan suara belum final, tak ada di antara satu calon kandidat pun yang mengangkat issue Budaya Aceh yang semakin berjalan seok menentang derasnya arus sungai Globalisasi Budaya, dipastikan di antara para kandidat masih tergiur dengan issue klasik seperti kesejahteraan (walau tak pernah kunjung datang), sektor pertanian dengan membangun irigasi, atau sektor sektor rill lainnya paling sedikit bahkan tidak ada di antara Kandidat yang bicara masalah carut marutnya budaya serta impactnya terhadap dekandensi moral.dan hampir tak ada yang menyinggung bahwa sekarang kita telah dihadapkan pada sebuah masa dimana ruang serta waktu seperti tak memiliki bentuk dan jarak, dengan kemajuan dan kecanggihan tehnologi telekomunikasi dewasa ini kita melihat dunia seperti melihat Bruek Ue (Batok Kelapa) hanya dengan tiga buah satelit yang diletakkan kurang lebih 34.000 km di atas permukaan bumi pada garis orbit yang sudah ditetapkan kita bisa melihat seluruh dunia hanya dalam geseran detik saja. Kecanggihan tehnologi ini telah dimamfaatkan oleh suatu kelompok kaum untuk menciptakan satu budaya dunia atau dengan kata lain kita sedang digiring kepada satu bentuk Budaya Global yang liberal dan sekuler atau dalam istilah lain adalah apa yang dinamakan Kampung Dunia atau Global Village. Artinya dunia yang maha luas ini sedang disiapkan menjadi satu kampung besar yang notabenenya besar dengan satu budaya dan peradaban saja dan tentunya dengan paksaan, sayangnya kita telah lengah dari membaca hal-hal seperti ini. Kedepan tentu ini bukan tugas gampang bagi pemimpin aceh masa depan dan kita semua sebagai anak bansa dalam mensiasati budaya global yang semakin hari semakin membengkokkan kita dari jalan yang lurus, nilai-nilai dan memaksa kita tercerabut dari akar budaya endatu yang agung dan luhur.

Harapan kita bersama kepada siapapun pemimpin aceh masa depan adalah mereka-mereka yang mampu mengolah, mendayakan serta menggunakan kemajuan tehnologi komunikasi ini untuk menyiarkan syiar keacehan kita keseluruh antero dunia sehingga budaya leluhur yang agung membumi tidak hanya di tanah rencong saja namun juga terisi dan mengendap di seluruh benak penduduk bumi sehingga Kemajuan tehnologi ini tidak menjadikan kita sebagai market target (target pasar) semata, namun sebaliknya kemajuan dan kecanggihan Tehnologi ini menjadikan kita sebagai product maker (pembuat produk) baik itu budaya dan hal lainnya untuk konsumsi masyarakat global.

Perlu Perhatian Seksama

Sementara ke dalam Aceh itu sendiri kita masih melihat lemahnya kinerja para pihak khususnya Dinas Budaya dalam memelihara atau menggali budaya – budaya bansa baik yang terpendam berupa situs maupun yang hampir punah di telan arus globalisasi juga karena kepongahan kita sendiri. Jangan pernah bilang kalau kita adalah bansa yang menghargai jasa para pahlawan bila pahlawan aceh yang kita kenal hanya sebatas Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Laksamana Keumalahayati, Teuku Umar, Tgk. Chik di Tiro. Mari kita lebih jujur sedikit bahwa masih ada ribuan bahkan jutaan pahlawan Aceh lainnya sampai saat ini tak ada yang peduli tentang keberadaannya kuburannya dan itu berserak di seluruh Aceh baik pesisir maupun pelosok gampoung. Satu contoh kasus, siapa di antara kita pernah tahu tentang kegagahberaninya seorang Pang Brahim pada masa perang Muslimin berkecamuk dengan Belanda, dari Reulet Kecamatan Dewantara beliu dikejar Belanda hingga terkepung di desa UleeNyeu Kecamatan Nisam Aceh Utara menurut cerita orang-orang tua gampoung Pang Brahim di cincang hingga tak bebrbentuk setelah Belanda Pergi warga sekitar menguburkannya, kuburan tersebut persisinya ada di dekat Meunasah UleeNyeu, sampai sekarang tidak ada perhatian dari yang berwenang dan cendrung tak dikenal kecuali hanya oleh beberapa orang tua yang sudah uzur di Gampoung UleeNyeu. Kisah ini hanya satu keterwakilan kasus di antara ribuan lainnya, bahkan kalau kita menyeberang hingga ke Pulau Aceh pun di sana juga kita akan dihadapkan pada kisah – kisah heroik para teugku dalam mempertahankan aceh dari penjajahan lebih dari itu adalah demi mempertahankan marwah ke Acehan serta keyakinan diri pada sebuah kebenaran. Kisah-kisah tersebut bukan lah dongeng namun karena lemahnya perangkat kebijakan serta alat kita kehilangan banyak babak dalam menumbuhkan roh berbansa melalui kisah heroik seperti di atas lagi-lagi sama sekali tak pernah terdengar, akhirnya kisah-kisah sejati tersebut hanya menjadi cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi yang sifatnya sangat lokalistik, ironi memang bila bicara cita-cita Aceh ke depan dengan mengabaikan banyak jasa pejuang masa lalu dan itu adalah spirit yang menyebakkan Aceh itu ada sampai sekarang. Lalu mengapakah kita harus lupa dan naif. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa kita tidak beranjak membangun aceh kedepan dari spirit yang sudah ada dan ini adalah kekayaan Budaya juga bukti sejarah yang tak dapat di nilai serta disamakan dengan segala bentuk materi apapun yang seluruh dunia miliki saat ini.

Masa Gemilang Aceh

Masa Gemilang Aceh bukan sekadar romantisme sejarah, sejarah melalui sejarawannya telah mencatat banyak hal tentang kejayaan Aceh masa lampau, contoh keberhasilan Aceh dalam segala bidang adalah masa kesultanan Iskandar Muda (1607-1636) masa kesultanan Iskandar Muda adalah masa Aceh yang paling gemilang sepanjang sejarahan Aceh. Atau jauh sebelumnya lagi kegemilangan Aceh juga sangat terasa pada masa Kejayaan Samudra Pasai (1270-1400) pada saat itu Kerajaan Samudra Pasai menjadi pusat berkembangnya Agama Islam, dagang, budaya serta pusat perkembangan penulisan Kesusastraan Melayu yang kemudian menjadi cikal bakal bahasa indonesia seperti yang kita nikmati sekarang ini.

Sultan Iskandar Muda dikenal sangat lihai dalam merangkul semua level para pihak pada saat itu baik para elit yakni para penguasa juga kaum pedagang serta ulama, sastrawan/ budayawan dan sampai ke level terendah dalam strata sosial berada dalam gengaman konsolidasi kekuatan unsur di semua tingkat level di masyarakat yang hidup saat itu dan ini menjadi satu-satunya alasan mengapa Sultan Iskandar Muda kedalam menjadi sangat kuat sementara ke luar Pembinaan hubungan antar negara kerajaan – kerajaan juga terus diperekat baik hubungan dagang, hubungan politik serta hubungan militer tentunya dengan tingkat pola hubungan seimbang dan terukur.

Melalui Pilkada yang bersih dan bermartabat 11 desember 2006 sehari yang lalu pemimpin yang terpilih oleh rakyat dari semua taraf level tentu mereka memiliki banyak harap, bahwasanya pemimpin yang mereka pilih adalah pemimpin yang di pundak mereka tersebut ada harapan hidup ke arah yang lebih baik di masa yang akan datang dan juga bentuk lain dari sebuah kerinduan akan perubahan, kita rindu akan kegemilangan Aceh masa lampau terukir kembali di bumi Tanah Rencong, tanah harapan kita semua, dan lebih dari semua itu kita sama-sama ingin melihat Bansa Aceh yang lebih bermartabat sejak hari ini 11 Desember 2006.

Meulaboh 12 Desember 2006

Deddi Iswanto
Penulis adalah Pekerja Kemanusian
Aktivis Budaya Design Media serta Film/Video Maker & pemilik merk produk cado,  kacho dan Kacho Coffee. 
Refleksi Sejarah Budaya Menuju Pemerintahan Aceh Yang JROEH Refleksi Sejarah Budaya Menuju Pemerintahan Aceh Yang JROEH Reviewed by Presiden Kacho on 19.42 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.