De Atjeh Oorlog!

Tulisan ini akhirnya menemukan takdirnya dengan diberlakukannya operasi militer enam hari kemudian, 19 Mei 2003, yang dalam sejarah Indonesia merupakan operasi militer terbesar pasca-aneksasi Timor Timur tahun 1975. Seperti mengulang sejarah, setiap perang selalu mengandung penyiksaan dan perkosaan sipil. Ia seperti menjadi luka tua peradaban. (Teuku Kemal Fasya).
(Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 13 Mei 2003).
Pertengahan bulan Oktober 1872, dengan gusar dan marah, Multatuli, seorang penulis keturunan kolonial, terpaksa membuat surat terbuka kepada penguasa utama Belanda, Raja Willem III atas sikap Gubernur jenderal Mr. J. Loudon terhadap kesultanan Aceh.
Surat itu lebih mirip ramalan takdir bagi negeri utara Sumatera itu menghadapi hari-hari ancamannya. ”Gubernur Jenderal Anda, Tuanku, dengan berbagai dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan provokasi yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada sultan Aceh, dengan tujuan merampas kedaulatan kesultanan itu. Tuanku, perbuatan itu tidak berbudi, tidak luhur, tidak jujur, tidak bijaksana”.
Pilihan Loudon itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Bahkan parlemen Belanda terpaksa menolak anjuran perang ini, walau Loudon terus saja mendistorsi perkembangan Aceh dengan telegram-telegram propaganda. Benar saja, 26 Maret 1873 maklumat perang jatuh. Aceh dihukum bersalah sebab “melanggar perjanjian niaga, perdamaian dan persahabatan yang dibuat tanggal 30 Maret 1857 antara Aceh dan pemerintah Hindia Belanda. Mata sejarah akhirnya tidak menemukan bukti pelanggaran Aceh dengan negeri kincir angin itu, kecuali bahwa kerajaan Aceh telah mengalihkan transaksi niaganya ke negara Eropa lainnya.
Tumbal dari provokasi ini adalah perang selama empat puluh tahun, dengan empat babak termasuk siklus jedanya. Angka kematian bagi pasukan dan masyarakat Aceh yang dicatat resmi oleh panglima Belanda, Jenderal Van Swieten “hanya” 23.198 jiwa. Tapi bagi wartawan senior dan juga penulis buku Atjeh Oorlog (1969), Paul Van’t Veer, 60.000 jiwa adalah terlalu sedikit untuk perang yang terganas pernah dihadapi Belanda di seluruh jajahannya.
Kegagalan Berdiplomasi?
Yang terus menjadi ganjalan dari motif operasi militer kali ini adalah lemahnya sikap menghargai dari pemerintah R.I terhadap sebuah agreement. Padahal pilihan berdamai bukanlah jalan mudah. Rintisannya berlangsung setapak demi setapak, sejak Jeda Kemanusiaan Juni 2000 dan telah mengalami 9 kali pertemuan tingkat tinggi (join council meeting). Persoalaan mulai memanas pada kasus pelucutan senjata (disarmament) yang ditafsirkan secara subjektif oleh masing-masing pihak. Perbantahan berlangsung keras bahkan cenderung menghina pihak lawan. Kata-kata “Hasan Tiro dan kawan-kawan cuma dansa-dansi bersama pentolan HDC”, “HDC cuma LSM kecil”, “GAM sungguh tak bisa dipegang janjinya”, kerap muncul sebagai bahasa resmi diplomasi elite pemerintah R.I.
Padahal kesepakatan ini bukanlah pertarungan antara R.I, GAM, dan HDC semata. Ada sejumlah negara maju dibalik upaya perdamaian ini. CoHA yang ditanda-tangani 9 Desember sangat besar berhasil akibat “intervensi” dari negara-negara pendonor yang tergabung dalam CGI yang melakukan pertemuan lima hari sebelumnya di Tokyo . Mereka merekomendasikan akan memberi pinjaman bagi Indonesia dan bantuan kemanusiaan bagi pemulihan Aceh jika kesepakatan damai antara RI-GAM berhasil disepakati.
Kali ini pemerintah seperti kehilangan kendali. Pemerintah R.I terlalu cepat melupakan arti “GAM adalah saudara kita juga”. Kesempatan antara menjadi saudara dan menjadi musuh kembali layu secepat melati. Kondisi yang menjepit Aceh hari ini lebih banyak dirasakan oleh masyarakat sipil yang diberitakan telah bergelombang mengungsi agar tak menjadi korban sia-sia.
Hari-hari menjelang persiapan “operasi terpadu”, elite pemerintah R.I (sipil dan militer) telah diselimuti semangat dendam dan lupa. Kita terkecoh bahwa seartifisial apapun kesepakatan ini (dan memang sebagai preamble, langkah kecil, kesepakatan ini masih banyak bolong-bolongnya), telah memberi manfaat yang besar bagi masyarakat dan para pihak yang bertikai. Apa yang disampaikan oleh juru bicara HDC, Simon Daly, bahwa sampai dengan tanggal 24 Januari 2003 atau satu setengah bulan pasca CoHA, pihak GAM atau sipil yang meninggal 9 orang, dibandingkan sebelum perjanjian damai rata-rata tewas 102 orang tiap bulannya. Demikian pula TNI-Polri yang tewas hanya 4 orang dari 45 orang sebelumnya setiap bulannya.
Pemerintah juga lupa bahwa geliat ekonomi dan pemberdayaan sosial mulai aktif sejak berlaku kesepatan damai. Selama dua bulan pasca perdamaian, penulis merasakan sendiri akibat positifnya. Masyarakat memang belum sepenuhnya hilang rasa traumatiknya, tapi mereka telah berani berjualan dan melakukan aktivitas malam hari. Perjalanan menuju dan dari Medan kembali lancar dilakukan oleh bus penumpang dan bus barang, tanpa begitu takut ancaman pembakaran, penjarahan, dan pungli yang sebelumnya cukup ramai dan memberatkan para sopir. Harga-harga bahan pokok kembali normal. Kesemuanya praksis dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dan swasta, dan hampir-hampir tanpa peran Pemda NAD, meskipun berlimpah anggaran lebih sepuluh kali lipat dari sebelumnya. Malah Pemda Aceh menghadapi kendala tersendiri berkaitan dengan efektivitas perencanaan anggaran (sekitar 80 persen anggaran pembangunan menguap di jalur birokrasi dan korupsi).
Padahal penulis mengingat betul perbincangan bersama Hassan Wirayudha (saat itu masih duta besar R.I untuk PBB) di Hotel Kuala Tripa Banda Aceh – beberapa waktu setelah Jeda Kemanusiaan (Juli 2000) dipilih sebagai diplomatic settlement terhadap GAM – bahwa langkah pemerintah jangan tergesa-gesa dianggap final. Sebuah keputusan penghentian permusuhan terhadap separatisme bisa jadi akan memakan waktu bertahun-tahun dan bepuluh-puluh kali pertemuan atau kesepakatan. Ia mencontohkan bagaimana peran Indonesia terhadap penyelesaian Congo dan Moro memakan waktu cukup lama dan tidak instan.
Perang Terburuk Sejarah Aceh?
Mungkin tak ada perkembangan yang cukup mengejutkan terjadi di Aceh beberapa hari ke depan. Kesepakatan tentang operasi militer telah mendapat persetujuan seluruh lembaga tinggi negara. Persiapan operasi militer dan pengkondisian telah dilakukan, termasuk mengirimkan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) yang akan membuka jalan untuk menghancurkan blok-blok konsentrasi pasukan GAM.
Jenderal Syafrie Syamsuddin telah menyatakan bahwa jika operasi militer dilakukan, di Aceh akan diberlakukan status darurat perang. Akan ada penyensoran besar-besaran terhadap pemberitaan dan publikasi cetak di masyarakat, pengambil-alihan fungsi pemerintahan sipil, penyortiran barang-barang pos, pemberlakukan hukum militer dan sebagainya. Menko Kesra, Yusuf Kalla telah mempersiapkan anggaran untuk para pengungsi yang diperkirakan lebih seratus ribu jiwa.
Bisa jadi perang tidak akan berlangsung lama di Aceh. Besar kemungkinan perang akan terhenti akibat efek realisasi logistik pemerintah yang terbatas di tengah krisis nasional pasca-IMF sekarang ini. Dan jika perang berhenti dengan atau tanpa menaklukkan GAM, yang pasti kerusakan sosial, ekonomi, dan kultural makin memperparah kondisi Aceh ke depan. Kita telah mengambil pelajaran bahwa setiap perang mesti meninggalkan ekses kemanusiaan yang tidak sepele. Tidak hanya pembunuhan, tapi juga penyiksaan, penanganan tahanan perang yang sangat buruk, pemerkosaan, pembakaran, penghancuran sarana sosial dan umum, dan penciptaan teror dan horor secara umum. Dalam kondisi perang, tidak ada negoisasi dan diskusi. Yang ada hanya pilihan strategis untuk mencapai tujuan, yaitu menaklukkan musuh atau membuat musuh kehilangan selera untuk melawan. Inilah kebajikan tertinggi dari sebuah perang.
Kondisi yang serba menyakitkan tersebut adalah sumbu baru depresi masyarakat yang tak dapat ditebak kemana akan menjalar. Bisa saja masyarakat terperangkap gejala defeatism, sikap rendah diri dan serba kalah. Masyarakat akan semakin merasa sebagai kelompok yang tak pernah dibela oleh pihak yang bertikai. Atau bisa saja masyarakat menjadi agresif dan marah dengan situasi. Apakah mereka akan memusuhi GAM? Mungkin saja. Tapi yang jelas dan akan terlalu terngiang di kepala, peran pemerintah R.I sebagai casus belli, penyebab dan pemaksa perang yang akhirnya mereka harus terusir dari tanah sendiri.
Inilah absurditas awal penyelesaian Aceh pasca-perdamaian. Bagi sejarah Aceh, inilah dilema dari masa ke masa yang tak kunjung henti sejak J.H.R Köhler melepaskan tembakan meriamnya ke arah Masjid Raya Bayt ar-Rahman 130 tahun silam.
Teuku Kemal Fasya, Dosen dan juga aktivis kebudayaan tinggal di Aceh.
De Atjeh Oorlog! De Atjeh Oorlog! Reviewed by Presiden Kacho on 02.19 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.