Tower Mesjid Baiturrahman Aceh, Photo by Debrajoem |
Wajibkah Bahasa ACEH di Lingkungan Kantor Pemerintahan?
Tulisan ini hanya sebuah refleksi dari sebuah judul diskusi di milis Aceh Institute yang berjudul PNS di Jogyakarta wajib berbahasa Jawa sebuah kebijakan Gubernur Daerah Istimewa Yogjakarta kepada PNS dilingkungan Kantor pemerintahan, perusahaan, pegawai swasta dan masyarakat umum. Lalu pertanyaan yang muncul perlukah Pemerintah Aceh juga mewajibkan bahasa ACEH dilingkungan PNS? Ada banyak tanggapan sehubungan dengan ide di atas, pertama bagi yang tidak setuju beralasan bahwa Aceh tidak bisa disamakan dengan Jogjakarta, menurut yang tidak setuju yogyakarta adalah daerah yang homogen sementara Aceh lebih heterogen dengan bukti bahwa di Aceh terdiri dari beberapa bahasa (Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Jame, Kluet). Kedua adalah kelompok setuju mereka beranggapan bahwa bahsa endatu yang hidup di Aceh memang bukan hanya menggunakan bahasa ACEH.pengertiannya, ketika ide mewajibkan berbicara bahasa daerah itu berarti bukan harus hanya berbicara bahasa ACEH, tetapi berbicara bahasa lokal, misal di Gayo-silahkan berbicara bahasa gayo, Alas silahkan berbicara dalam bahasa Alas. begitu juga daerah tingkat kabupaten kota lainnya. bagaimana dengan provinsi? ya sesuaikan juga dengan proporsinya. Pengalaman saya kalau di Jogya, sebelum diwajibkan berbahasa Jawa, orang atau masyarakatnya memang sudah tekun berbahasa jawa. Kalau di Aceh orang yang tidak tahu atau pasif berbahasa Indonesia cuma di pelosok gampoeng, sebaliknya di Jawa Tengah khususnya Jogja orang yg tidak bercakap bahasa indonesia hampir semuanya kita temui malah dipusat perkotaan. pertanyaannya apakah mereka tidak bisa berbicara bahasa Indonesia? Jawabannya bisa ya tapi bisa juga bukan, kenapa demikian. Karena menurut pengalaman pribadi saya kebanyakan dari mereka yang tidak berbicara bahasa indonesia adalah si mbok bakul atau kalau di Aceh dipanggil mugee ataupun berjualan di lapak pasar. Tetapi kenyataannya ketika saya menanyakan harga dalam bahasa indonesia dan saya mengulangnya beberapa kali barulah mereka menjawab dalam bahasa indonesia, artinya mereka berbicara bahasa jawa bukan karena mereka tidak bisa bahasa indonesia, lebih tepat karena budaya dan cinta terhadap budaya sendiri dan kebiasaan sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Pengalaman pribadi saya ini bisa dibuktikan oleh siapapun apabila sudah pernah tinggal atau singgah di jogja, sebut saja seperti di pusat pasar Berigharjo atau pasar Keranggan dipastikan bagi anda yang baru pertama sekali di pasar-pasar Jogja akan bodoh sekali di depan si Mbok yang jualan kebutuhan sehari-hari itu, tapi hal ini tidak berlaku untuk jalan Malioboro, di Maioboro penjual kaki lima kebanyakan pendatang dari Padang Sumatera Barat (Sumatera Barek kata haji Uma dalam komedi Eumpang Breuh). Kembali ke pertanyaan perlukah Pemerintahan Irwandi-Nazar juga mewajibkan bahasa daerah dilingkungan pemerintahannya?, jawabnnya menurut saya ok-ok saja sejauh yang diseragamkan itu bukan bahasa ACEH tetapi seragam dalam bahasa lokal masing-masing tiap tingkat dua dikabupaten diwajibkan berbicara dalam bahasa ibu mereka, bukan berarti harus mencontoh Sultan Mataram (Gubernor Jogja) jangan takut di bilang mencontoh hal yg baik dan jangan pula takut di bilang akan terbelakang dengan memperkuat bahasa daerah. Jogja itu mini nya Indonesia ratusan etnis ada di sana, tapi coba saja anda ajak bicara orang Chinese yg berjualan di Jogja berbahsa nenek moyang mereka bahsa Cina, di jamin anda akan tersepona karena mereka pasti akan menjawab dalam bahsa Jawa yg halus sekaliii. iirii saya. Cina di banda Aceh tentu tidak demikian. maksud saya perilaku berbahsa cina bagi orang cina juga karena ketidakberdayaan kita dalam mepertahankan budaya. Jangan pula beralasan Aceh itu kan daerah paling kosmopolit jadi bahsa endatu orang Aceh itu ya bahsa siapa saja (pendatang) no way. sekali lagi Jogja itu bisa jadi contoh, sejak puluhan tahun silam menjadi target tiap pelajar dari seluruh indonesia, tapi bahsa Jawa tetap lestari…eee tanya kenapaaaa. ya jawabannya belajar dari Sultan Mataram, atau sebaliknya Sultan Mataram yang sedang belajar dari Aceh karena krisis identitas di Jogya semakin parah sementara Aceh seperti sedang menemukan kembali identitas nya yang hilang. So kayaknya kita kudu hati-hati juga dengan ide yang sedang bergulir, kritis, bijaksana, berpengetahuan luas sangat penting sebelum membuat keputusan.
Bahasa ACEH di Lingkungan Kantor Pemerintahan
Reviewed by Presiden Kacho
on
19.56
Rating:
Tidak ada komentar: