Tulisan ini telah dimuat di Harian Aceh pada tanggal 30 Agustus 2009.
TAK ada tujuan yang lebih pertama ketika orang menikmati film kecuali mendapatkan hiburan. Adapun tujuan lain hanya ikutan, yang membuat sebuah film wajar untuk dikenang lebih lama di hati dan pikiran. Namun hal ini tidak saya rasakan ketika menghadiri peluncuran film Empang Breuh edisi Rumeh di Dayan Dawood, 19 Agustus 2009.
Peluncuran film Rumeh ini memang menjadi momentum kebenaran (moment of truth) perdamaian Aceh (MoU Helsinki); sebuah traktat perdamaian yang berhasil bertahan empat tahun. Prestasi yang hebat jika dibandingkan kesepakatan damai Aceh lainnya (pasca-Soeharto) hanya bertahan enam bulan.
Sejak awal saya hadir dengan riang gembira, membawa rekaman di kepala tentang Bang Joni, Haji Umar, dan Bang Mandor yang telah terkenal lucunya. Ditambah “peran sisipan” Dek Yusniar, sebagai ikon kecantikan gadis Aceh yang lugu. Tak dipungkiri, film Empang Breuh menjadi sejarah munculnya film pop lokal Aceh.
Sebagai galibnya film komersial selalu ada mitos “gadis James Bond” yang cantik nan menggoda, dan tak mungkin dipinggirkan dalam film pop mana pun. Dalam kredonya yang paling kuno, seni pop (asal katanya arte populare; pengalaman kesenian masyarakat Inggris abad 18, dari kesenian tari-nyanyi para buruh tambang sehabis bekerja) memang dirancang untuk kepentingan konsumsi masyarakat umum, mengikuti selera pasar, instan dan mudah dicerna.
Sampai di sini tak ada yang salah dengan budaya pop. Kemunculan Mbah Surip dan Trio Macan juga bagian dari dunia pop yang telah lama gersang kreativitas dan inovasi. Orang perlu kebaruan (novelty), tiba-tiba Mbah Surip muncul, demikian dan seterusnya.
Pertunjukan yang seharusnya menyenangkan itu menjadi hambar oleh serial pidato dari pendonor, wakil pemerintah, hingga master of ceremony yang entah berfungsi apa kecuali menyelipkan kata-kata perdamaian yang terkesan majal. Pertunjukan terlihat agak selamat ketika muncul musik akustik Sarjev dan kawan-kawan. Lagu Rumeh yang dinyanyikan Dara, mengalir indah dengan nada soprannya.
Lengkingan yang khas, mengingatkan pada Rafli Kande, representasi suara yang hilang. Lengkingan terluka tapi tabah. Meskipun orang tak mengetahui arti kata katanya, audiens bisa larut dalam lagu pop Aceh ini. Namun tidak di penampilan kedua. Lagu You Rise Me Up Josh Groban, telah menjadikan acara ini seperti layaknya pentas perpisahan kelas.
Sebagai orang yang pernah mendengar versi terbaik dari penyanyi aslinya atau penyanyi Indonesia seperti Michael dan Delon Indonesian Idol, saya tak memiliki ruang untuk menikmati penampilan itu. Saya tak tahu mengapa lagu ini harus dinyanyikan. Mungkin sponsor terlalu berat campur tangan.
Ketika film dimulai, badai visual pun terjadi. Film dimulai dengan adegan stereotype Bang Joni dan Mando ugal-ugalan membawa sepeda motor astuti, menyapa seorang gadis, entah siapa, hanya untuk memperkenalkan kata rumeh (senyum) kepada penonton. Gadis itu hilang tanpa pesan hingga akhir film. Pemaksaan dialog ini menunjukkan bahwa sutradara takut penonton tak paham, sehingga perlu ada “bimbingan gambar”.
Adegan kemudian meloncat ke sekelompok pemuda kampung yang teupeh (tersinggung) oleh sikap Bang Joni dan kemudian berkejar-kejaran dengan sepeda motor, tipikal film Empang Breuh sebelumnya. Adegan meloncat ke konflik Bang Joni dengan preman Medan, diikuti adegan mengejar tukang pompa yang dibayar dengan buah kol. Sama sekali tak ada clue kenapa hal itu dilakukan.
Kekacauan visual bertambah dengan masuknya adegan sekelompok anak muda bermain band dalam film ini yang tidak tahu berfungsi apa. Adegan juga diisi dengan “diktat perdamaian dan turisme” yang disampaikan oleh Haji Umar, diskusi kelas Yusniar, dan obrolan bule di pinggir pantai. Kongruensi antar-scene tidak terjalin dalam sebuah cerita, sehingga seperti babak-babak yang terpisah, terpecah-pecah, tanpa motif jahitan.
Ada beberapa film yang pernah saya tonton memperlihatkan pecahan-pecahan skenario, seperti Pulp Fiction (1994), Kuldesak (1997), atau yang terbaru Berbagi Suami (2006). Akan tetapi film seperti ini dipersiapkan dengan serius untuk festival film, sehingga mesti terlihat tanpa jahitan, penonton menyimpulkan sendiri antar-adegan di akhir film. Untuk film komedi-slapstik seperti ini, tentu saja dekonstruksi adegan tanpa plot adalah terlalu mewah. Ketegangan dan klimaks yang terlihat dalam film Empang Breuh sebelumnya (sebenarnya semua film memiliki konsep pembuka, penokohan, konflik-antar tokoh, klimaks, dan ending) tidak terjadi.
Serta merta penonton mendapati situasi yang sangat artifisial. Ini bukan lagi figur Bang Joni, Haji Umar, Raja, dan Yusniar yang sebenarnya: wakil dari potret masyarakat desa Aceh yang lugu dan apolitis. Tiba-tiba semua tokoh menjadi fasilitator perdamaian. Tiba-tiba sosok Yusniar mendadak pintar, anak kuliahan Banda Aceh yang fasih berdiskusi dalam bahasa Indonesia, tapi masih cinta dengan Bang Joni yang aneh.
Bahkan ada beberapa kekacauan historis sebagai film sekuel. Ada adegan Raja yang memukul Haji Umar, yang sebenarnya orang paling ditakuti di desanya dan calon mertua. Adegan ini merusak konsep kearifan lokal Aceh. Realitas umum anak muda mana di Aceh yang tega mengeroyok orang tua, apalagi untuk alasan yang tidak jelas? Adegan menjadi tidak lucu lagi.
Problem teknis pada film ini seharusnya teratasi jika melihat gambar diwakili tiga kamera untuk satu momen shoot (seperti juga pengakuan Fajran Zain, production manager), berbeda dengan Empang Breuh sebelumnya. Namun permainan short shoot untuk memberikan gambaran muka jelas para tokohnya (close up) dan kualitas gambar yang jernih ini tidak diikuti dengan kemampuan teknis lain, seperti ada angle yang terlalu gelap karena kurang pencahayaan dan gambar terlalu goyang hanya untuk momen statis.
Ini tentu saja menganggu penonton. Belum lagi teknik close up bagi tokoh lawak seperti Bang Joni dan Mando menjadi kurang tepat karena mereka tidak memiliki wajah yang mulus dan tampan ala bintang telenovena.
Konsep pola menjauh (long distance shoot) dari objek agar menangkap sisi Kota Banda Aceh secara utuh menjadi satu-satunya kelebihan teknis film ini. Rekaman itu memberikan suasana kebaikan Banda Aceh sebagai tujuan turisme. Satu momen long distance shoot terbaik yang masih membekas di pikiran saya ada pada film The Terminal (2004, Steven Spielberg), ketika tokoh Viktor Navorski (Tom Hanks) tertegun-gagu oleh nasibnya yang tidak bisa kembali ke negaranya karena diamuk konflik. Sangat fantastis (mengutip kata-kata dalam film Rumeh) dan melodius dengan iringan musik lirisnya.
Sebagai penikmat saya merasakan kehilangan unsur natural Empang Breuh biasanya. Latar belakang yang “terlalu bagus dan rapi”; menyanyi di tepi laut yang indah dan bersih seperti memanipulasi realitas. Dalam film Empang Breuh sebelumnya ada adegan Bang Joni terguling-guling di tepi Bukit Rata, Lhokseumawe, dan menyanyi di atas rakit reot di sebuah rawa yang telah bopeng oleh eksploitasi alam dan rekonstruksi. Tanpa khutbah illegal logging pun, gambar di Empang Breuh tiga dan empat yang saya tonton, memberikan pelajaran betapa alam Aceh semakin terancam.
Realisme gambar yang muncul dalam film itu telah memberikan pelajaran dibandingkan diktat ilmiah, karena seharusnya film tidak menjadi diktat ilmiah. Ia harus mewakili sketsa kehidupan yang memang tidak lurus-lurus saja. Ada parodi, kontradiksi, nyeleneh, dan kelucuan yang pahit. Dan penonton semakin tersenyum oleh kelucuan-kelucuan pahit, dibandingkan kelucuan yang diberi pemanis buatan. Rumeh tidak cukup realistik menangkap fenomena (kelucuan) Aceh.
Tentu kita tak dapat menyalahkan tim kreatifnya. Sebelum pemutaran film telah dikabarkan besar-besar dengan pidato retoris-lebar bahwa Bank Dunia berada dibalik Rumeh ini. Tentu saja yang lahir adalah Empang Breuh rasa Bank Dunia yang puncak rasanya ada di jalan Sudirman, Jakarta, dan terus mengalir ke sumber ideologinya, New York. Mungkin terlalu banyak sisipan yang harus ditelan film ini, mengalahkan kepentingan nilai artistik sinematografisnya.
Maka jangan salah jika ada yang dikorbankan: kearifan lokal Aceh yang ada dalam diri Bang Joni dan Haji Umar yang lugu, lucu, apolitis, tapi konsisten itu. Semoga film ke depan tidak menjadi Bang Joni Kerja di NGO.
Oleh: Teuku Kemal Fasya
TAK ada tujuan yang lebih pertama ketika orang menikmati film kecuali mendapatkan hiburan. Adapun tujuan lain hanya ikutan, yang membuat sebuah film wajar untuk dikenang lebih lama di hati dan pikiran. Namun hal ini tidak saya rasakan ketika menghadiri peluncuran film Empang Breuh edisi Rumeh di Dayan Dawood, 19 Agustus 2009.
Peluncuran film Rumeh ini memang menjadi momentum kebenaran (moment of truth) perdamaian Aceh (MoU Helsinki); sebuah traktat perdamaian yang berhasil bertahan empat tahun. Prestasi yang hebat jika dibandingkan kesepakatan damai Aceh lainnya (pasca-Soeharto) hanya bertahan enam bulan.
Sejak awal saya hadir dengan riang gembira, membawa rekaman di kepala tentang Bang Joni, Haji Umar, dan Bang Mandor yang telah terkenal lucunya. Ditambah “peran sisipan” Dek Yusniar, sebagai ikon kecantikan gadis Aceh yang lugu. Tak dipungkiri, film Empang Breuh menjadi sejarah munculnya film pop lokal Aceh.
Sebagai galibnya film komersial selalu ada mitos “gadis James Bond” yang cantik nan menggoda, dan tak mungkin dipinggirkan dalam film pop mana pun. Dalam kredonya yang paling kuno, seni pop (asal katanya arte populare; pengalaman kesenian masyarakat Inggris abad 18, dari kesenian tari-nyanyi para buruh tambang sehabis bekerja) memang dirancang untuk kepentingan konsumsi masyarakat umum, mengikuti selera pasar, instan dan mudah dicerna.
Sampai di sini tak ada yang salah dengan budaya pop. Kemunculan Mbah Surip dan Trio Macan juga bagian dari dunia pop yang telah lama gersang kreativitas dan inovasi. Orang perlu kebaruan (novelty), tiba-tiba Mbah Surip muncul, demikian dan seterusnya.
Pertunjukan yang seharusnya menyenangkan itu menjadi hambar oleh serial pidato dari pendonor, wakil pemerintah, hingga master of ceremony yang entah berfungsi apa kecuali menyelipkan kata-kata perdamaian yang terkesan majal. Pertunjukan terlihat agak selamat ketika muncul musik akustik Sarjev dan kawan-kawan. Lagu Rumeh yang dinyanyikan Dara, mengalir indah dengan nada soprannya.
Lengkingan yang khas, mengingatkan pada Rafli Kande, representasi suara yang hilang. Lengkingan terluka tapi tabah. Meskipun orang tak mengetahui arti kata katanya, audiens bisa larut dalam lagu pop Aceh ini. Namun tidak di penampilan kedua. Lagu You Rise Me Up Josh Groban, telah menjadikan acara ini seperti layaknya pentas perpisahan kelas.
Sebagai orang yang pernah mendengar versi terbaik dari penyanyi aslinya atau penyanyi Indonesia seperti Michael dan Delon Indonesian Idol, saya tak memiliki ruang untuk menikmati penampilan itu. Saya tak tahu mengapa lagu ini harus dinyanyikan. Mungkin sponsor terlalu berat campur tangan.
Ketika film dimulai, badai visual pun terjadi. Film dimulai dengan adegan stereotype Bang Joni dan Mando ugal-ugalan membawa sepeda motor astuti, menyapa seorang gadis, entah siapa, hanya untuk memperkenalkan kata rumeh (senyum) kepada penonton. Gadis itu hilang tanpa pesan hingga akhir film. Pemaksaan dialog ini menunjukkan bahwa sutradara takut penonton tak paham, sehingga perlu ada “bimbingan gambar”.
Adegan kemudian meloncat ke sekelompok pemuda kampung yang teupeh (tersinggung) oleh sikap Bang Joni dan kemudian berkejar-kejaran dengan sepeda motor, tipikal film Empang Breuh sebelumnya. Adegan meloncat ke konflik Bang Joni dengan preman Medan, diikuti adegan mengejar tukang pompa yang dibayar dengan buah kol. Sama sekali tak ada clue kenapa hal itu dilakukan.
Kekacauan visual bertambah dengan masuknya adegan sekelompok anak muda bermain band dalam film ini yang tidak tahu berfungsi apa. Adegan juga diisi dengan “diktat perdamaian dan turisme” yang disampaikan oleh Haji Umar, diskusi kelas Yusniar, dan obrolan bule di pinggir pantai. Kongruensi antar-scene tidak terjalin dalam sebuah cerita, sehingga seperti babak-babak yang terpisah, terpecah-pecah, tanpa motif jahitan.
Ada beberapa film yang pernah saya tonton memperlihatkan pecahan-pecahan skenario, seperti Pulp Fiction (1994), Kuldesak (1997), atau yang terbaru Berbagi Suami (2006). Akan tetapi film seperti ini dipersiapkan dengan serius untuk festival film, sehingga mesti terlihat tanpa jahitan, penonton menyimpulkan sendiri antar-adegan di akhir film. Untuk film komedi-slapstik seperti ini, tentu saja dekonstruksi adegan tanpa plot adalah terlalu mewah. Ketegangan dan klimaks yang terlihat dalam film Empang Breuh sebelumnya (sebenarnya semua film memiliki konsep pembuka, penokohan, konflik-antar tokoh, klimaks, dan ending) tidak terjadi.
Serta merta penonton mendapati situasi yang sangat artifisial. Ini bukan lagi figur Bang Joni, Haji Umar, Raja, dan Yusniar yang sebenarnya: wakil dari potret masyarakat desa Aceh yang lugu dan apolitis. Tiba-tiba semua tokoh menjadi fasilitator perdamaian. Tiba-tiba sosok Yusniar mendadak pintar, anak kuliahan Banda Aceh yang fasih berdiskusi dalam bahasa Indonesia, tapi masih cinta dengan Bang Joni yang aneh.
Bahkan ada beberapa kekacauan historis sebagai film sekuel. Ada adegan Raja yang memukul Haji Umar, yang sebenarnya orang paling ditakuti di desanya dan calon mertua. Adegan ini merusak konsep kearifan lokal Aceh. Realitas umum anak muda mana di Aceh yang tega mengeroyok orang tua, apalagi untuk alasan yang tidak jelas? Adegan menjadi tidak lucu lagi.
Problem teknis pada film ini seharusnya teratasi jika melihat gambar diwakili tiga kamera untuk satu momen shoot (seperti juga pengakuan Fajran Zain, production manager), berbeda dengan Empang Breuh sebelumnya. Namun permainan short shoot untuk memberikan gambaran muka jelas para tokohnya (close up) dan kualitas gambar yang jernih ini tidak diikuti dengan kemampuan teknis lain, seperti ada angle yang terlalu gelap karena kurang pencahayaan dan gambar terlalu goyang hanya untuk momen statis.
Ini tentu saja menganggu penonton. Belum lagi teknik close up bagi tokoh lawak seperti Bang Joni dan Mando menjadi kurang tepat karena mereka tidak memiliki wajah yang mulus dan tampan ala bintang telenovena.
Konsep pola menjauh (long distance shoot) dari objek agar menangkap sisi Kota Banda Aceh secara utuh menjadi satu-satunya kelebihan teknis film ini. Rekaman itu memberikan suasana kebaikan Banda Aceh sebagai tujuan turisme. Satu momen long distance shoot terbaik yang masih membekas di pikiran saya ada pada film The Terminal (2004, Steven Spielberg), ketika tokoh Viktor Navorski (Tom Hanks) tertegun-gagu oleh nasibnya yang tidak bisa kembali ke negaranya karena diamuk konflik. Sangat fantastis (mengutip kata-kata dalam film Rumeh) dan melodius dengan iringan musik lirisnya.
Sebagai penikmat saya merasakan kehilangan unsur natural Empang Breuh biasanya. Latar belakang yang “terlalu bagus dan rapi”; menyanyi di tepi laut yang indah dan bersih seperti memanipulasi realitas. Dalam film Empang Breuh sebelumnya ada adegan Bang Joni terguling-guling di tepi Bukit Rata, Lhokseumawe, dan menyanyi di atas rakit reot di sebuah rawa yang telah bopeng oleh eksploitasi alam dan rekonstruksi. Tanpa khutbah illegal logging pun, gambar di Empang Breuh tiga dan empat yang saya tonton, memberikan pelajaran betapa alam Aceh semakin terancam.
Realisme gambar yang muncul dalam film itu telah memberikan pelajaran dibandingkan diktat ilmiah, karena seharusnya film tidak menjadi diktat ilmiah. Ia harus mewakili sketsa kehidupan yang memang tidak lurus-lurus saja. Ada parodi, kontradiksi, nyeleneh, dan kelucuan yang pahit. Dan penonton semakin tersenyum oleh kelucuan-kelucuan pahit, dibandingkan kelucuan yang diberi pemanis buatan. Rumeh tidak cukup realistik menangkap fenomena (kelucuan) Aceh.
Tentu kita tak dapat menyalahkan tim kreatifnya. Sebelum pemutaran film telah dikabarkan besar-besar dengan pidato retoris-lebar bahwa Bank Dunia berada dibalik Rumeh ini. Tentu saja yang lahir adalah Empang Breuh rasa Bank Dunia yang puncak rasanya ada di jalan Sudirman, Jakarta, dan terus mengalir ke sumber ideologinya, New York. Mungkin terlalu banyak sisipan yang harus ditelan film ini, mengalahkan kepentingan nilai artistik sinematografisnya.
Maka jangan salah jika ada yang dikorbankan: kearifan lokal Aceh yang ada dalam diri Bang Joni dan Haji Umar yang lugu, lucu, apolitis, tapi konsisten itu. Semoga film ke depan tidak menjadi Bang Joni Kerja di NGO.
Oleh: Teuku Kemal Fasya
Rumeh, Kearifan (Tidak Lagi) Lokal
Reviewed by Presiden Kacho
on
22.49
Rating:
Tidak ada komentar: